Detik-Detik Wafatnya Sang Proklamator
bangun pagi, lihat jam uda jam 7. hah? jam 7! hari ini kan ada upacara jam setengah 7 di sekolah. gimana yah? bolos ajah deh, xixixi. tp, ada yg tau gak upacara apaan? yup, hari ini kan tanggal 17 Agustus, independence day gitu loh. Rio Ferdinand sama Ryan Babel ajah ngucapin lewat twitter. yeeeeah! walopun saya nggak ikut upacara di sekolah tp saya pantengin tv terus loh buat ngeliat "paskibraka in action". pembawa baki itu pelajar kls 12 wakil dari gorontalo, tuh saya tau, saya nontonnya kan dengan niat suci dan menjalaninya dengan ikhlas. pada tau nggak kalo hari kemerdekaan kita tahun ini barengan sama nuzulul qur'an? 17 agustus 2011 = 17 ramadhan 1843H . yay :) semoga hal ini bisa menjadikan indonesia lebih baik lagi, amiiin.
nah, memperingati hari kemerdekaan, saya mau share info yg berbau nasionalisme. kali ini yang saya share adalah "Detik-Detik Wafatnya Sang Proklamator". sekitar 2 bulan yg lalu saya sempet denger radio di frekuensi 105,9 fm EBS. si penyiar bacain sebuah cerita yg isinya tentang kematian bung karno. disitu saya terharu dan hampir meneteskan air mata. mungkin karna si penyiar bacainnya dapet dan diiringi alunan piano yang melankolis pula. tapi, disamping itu ceritanya memang mengiris hati. dari situlah saya mulai browsing dan akhirnya nemu 2 artikel yang dua-duanya mau saya share dan akan saya sebutin sumbernya. oke nggak usah pake lama, kalo lo pada ngaku sebagai bagian dari bangsa indonesia, lo wajib baca ni artikel. cekidot...
versi 1 (sumber --> klik )
Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…” ….Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.
Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali di dunia ini. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.
versi 2 (sumber --> klik )
DETIK-DETIK MENJELANG KEMATIAN BUNG KARNO.
PENASARAN ingin mengetahui kondisi Bung Karno selama
berada dalam tahanan Orde Baru? Bagaimana keadaan Bung
Karno menjelang ajal menjemput nyawa? Untuk menjawab
rasa penasaran banyak orang itu, Rachmawati
Soekarnoputri membongkar sejumlah dokumen tentang
kesehatan Bung Karno, siang ini (11 Mei 2006) di
kantor Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), di kawasan
Cikini, Jakarta Pusat.
Dokumen-dokumen berusia 36 tahun itu menggambarkan
kondisi kesehatan Bung Karno, terutama setelah dia
tidak lagi menjadi presiden. Juga menggambarkan
perlakuan penguasa ketika itu terhadap Bung Karno.
Memasuki pertengahan Agustus 1965 kesehatan
Bung drop drastis.Pada 4 Agustus ia terjatuh dan collapse
di kamarnya di Istana Merdeka, Jakarta. Sejumlah kabar
menyebutkan, Bung Karno terjatuh karena serangan
stroke. Dia sempat dibawa ke Istana Bogor untuk
mendapat perawatan intensif.
Peristiwa Bung Karno collapse sempat melahirkan
berbagai rumor yang sulit dikonfirmasi. Sempat pula
berkembang spekulasi yang mengatakan bahwa Bung Karno
tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada
peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965.
Kesehatan Bung Karno yang memburuk ini pula yang ikut
memperpanas konstelasi politik nasional saat itu. Suhu
politik dan persaingan antara Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang sebelumnya sempat mengusulkan ide angkatan
kelima dengan TNI Angkatan Darat semakin panas.
Kehadiran tim dokter dari Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) yang membantu pengobatan Bung Karno juga
mempertajam konflik di antara PKI dan AD. Sebab RRT
dianggap sebagai sponsor utama ide angkatan kelima
yang bikin resah itu. Di tengah suhu politik yang
semakin panas, Bung Karno kembali muncul pada
peringatan detik-detik proklamasi ke-20 di Istana
Merdeka. Dia hadir lengkap dengan pakaian kebesaran
dan tongkat komando yang seakan tak pernah lepas dari
genggaman.
Singkat cerita, Maret 1967 Soeharto dilantik sebagai
pejabat presiden. Sejak itu Bung Karno dikucilkan dan
dilarang menginjakkan kaki di Jakarta. Maret 1968,
Soeharto dilantik sebagai presiden. Menyusul
pelantikan itu, di awal April 1968, Bung Karno angkat
kaki meninggalkan Istana Bogor.
Dari istana yang berseberangan dengan Kebun Raya
Bogor, Bung Karno pindah ke Batu Tulis. Tetapi udara
Bogor yang dingin kala itu amat mengganggu
kesehatannya yang tak kunjung membaik. Rematik Bung
Karno semakin parah dan menyerangnya bertubi-tubi
setiap hari. Di saat sakit yang semakin tak
tertahankan, Bung Karno mengutus Rachma ke Jakarta,
menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar dia
diperbolehkan kembali ke Jakarta.
Beberapa bulan kemudian, Bung Karno kembali
menginjakkan kaki di Jakarta, tepatnya di Wisma Yasso,
Jalan Jenderal Gatot Subroto. Di Wisma Yasso, rumah
Dewi Soekarno yang kini menjadi Museum Satria Mandala
itu, Bung Karno dijaga ekstra ketat siang dan malam.
“Ada satu periode dimana kami, anak-anaknya, tak boleh
bertemu dengan beliau. Begitu juga dengan kerabat
keluarga yang lain. Tetapi ada satu periode dimana
saya bisa menjenguk Bapak tiga hingga empat kali dalam
seminggu,” kenang Rachma.
Tanggal 6 Juni 1970, bertepatan dengan hari ulang
tahun Bung Karno yang ke-69, Rachma dan Guruh
menjenguk Bung Karno di Wisma Yasso. Rachma masih
ingat, saat itu Bung Karno tengah berbaring di sofa.
Sekujur tubuhnya bengkak. Suaranya sudah tak jelas
lagi. Begitu juga dengan pandangan matanya.
Sakit ginjal yang diderita Bapak tak pernah diobati
secara layak, ujar Rachma lagi. Dalam kunjungan itu,
Rachma memotret Bung Karno. Foto itu kemudian
diberikan Rachma kepada seorang jurnalis kenalannya.
Urusan memotret ini membuat Rachma berurusan dengan
Corps Polisi Militer (CPM).
“Mengapa saya tak boleh memotret BK. Memang status BK
apa?” tanya Rachma ketika diinterogasi.
Dengan ringan si pejabat CPM menjawab, Bung Karno
adalah tahanan. Setelah bertahun-tahun, itu adalah
pengakuan pertama dari mulut mereka, ujar Rachma.
Beberapa hari setelah kunjungan Rachma itu, Bung Karno
dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
Kesehatannya semakin memburuk.
Tanggal 21 Juni 1970, sekitar pukul 04.30 WIB, pihak
RSPAD menghubungi Rachma. Dia diminta segera ke RSPAD
menemui Bung Karno. Sekitar pukul 07.00 WIB, Rachma
dan saudara-saudaranya dipersilakan memasuki ruang
rawat Bung Karno. Alat bantu pernafasan dan jarum
infus telah dilepas. Bung Karno tergolek lemah.
Matanya tertutup rapat, nafasnya satu-satu. Tak lama,
malaikat maut menjemput sang proklamator itu.
(Dimuat pertama kali di Rakyat Merdeka, 12 Mei 2006
dengan judul “Sebelum Jarum Infus Bung Karno Dilepas”.
Foto diambil di kediaman Rachmawati, sehari sebelum
dokumen-dokumen tersebut dibuka untuk publik.)
versi 1 itulah yang saya dengar di EBS fm, sangat menyentuh. bagaimana bisa seorang
pendiri bangsa diperlakukan sedemikian rupa. speechless.
artikel ini saya share tanpa ada maksud apapun. just share. PEACE & RESPECT!!!
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda